Pempek

 


Pempekmpek-mpek, atau empek-empek adalah makanan khas PalembangSumatera Selatan. Pempek terbuat dari daging tenggiri atau gabus yang digiling lembut, dicampur tepung kanji atau tepung sagu, serta dengan bahan-bahan lain seperti telur, bawang putih halus, penyedap rasa, dan garam. Pempek biasanya disajikan dengan kuah yang disebut cuko yang terasa asammanis, dan pedas.


Ada pula pempek panggang yang seperti namanya, yakni pempek yang dimasak dengan cara dipanggang. Pempek jenis ini biasanya disajikan dengan isian ebi atau sambal, memberikan cita rasa yang khas dan berbeda dari pempek pada umumnya. Tekstur bagian luarnya yang sedikit garing berpadu dengan rasa gurih dan aroma bakaran yang menggoda selera, menjadikannya favorit bagi pecinta kuliner khas Palembang yang ingin mencoba variasi pempek yang unik.[2] Selain itu, pempek juga bisa ditemukan di berbagai daerah di luar Palembang, baik yang dibuat oleh pendatang asal Palembang maupun masyarakat lokal. Pempek juga dikenal luas sebagai salah satu ikon kuliner Indonesia yang telah diperkenalkan dalam berbagai festival makanan, acara diplomasi budaya, serta menjadi hidangan yang mewakili Indonesia di kancah internasional.


Pada tahun 1880-an, para penjual pempek biasa memikul satu keranjang penuh sambil berjalan kaki berkeliling untuk menjajakan dagangannya. Saat ini pempek dijual oleh pedagang kaki lima maupun restoran. Para penjual pempek dapat ditemukan dengan mudah di beberapa daerah pada provinsi Sumatera Selatan hingga Bengkulu.


Cara memakan pempek yang benar adalah dengan menggunakan mangkuk kecil sebagai tempat cukonya (cuka dalam bahasa Indonesia) lalu pempek dicocolkan. Cuko kemudian diseruput untuk menambah nikmatnya rasa. Pelengkap lain untuk menyantap pempek adalah potongan dadu mentimun segar, mie kuning, dan cabai bubuk untuk tambahan pedas.


Pempek mempunyai sejarah yang unik dan tidak dapat dilepaskan dari masuknya para perantau Tionghoa ke Palembang semasa pemerintahan Kesultanan Palembang Darussalam ketika dipimpin oleh Sultan Mahmud Badaruddin II pada abad ke-16 Masehi. Berdasarkan cerita masyarakat, pempek dijual keliling kota oleh seseorang asal Tionghoa yang sering dipanggil Apek di kisaran tahun 1617 M.


Apek sendiri dalam Bahasa Tionghoa memiliki arti paman atau laki-laki tua, Apek pada saat itu berusia sekitar 65 tahun. Apek yang tinggal di pinggiran Sungai Musi dan memiliki ide untuk memanfaatkan potensi ikan yang melimpah, dengan mengolahnya menjadi makanan selain digulai dan digoreng. Akhirnya, Apek mengolah ikan hasil tangkapannya dan mencampurnya dengan tepung. Mirip dengan makanan bakso yang dibawa pedagang Tiongkok ke Palembang. Setelah itu Apek pun berkeliling menjual produk hasil buatannya yang pada saat itu belum memiliki nama. Saat ada yang ingin membeli, mereka akan memanggil Apek dengan ujung namanya saja, yaitu "peek..peek", hingga akhirnya menjadi asal mula nama pempek. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa sejarah pempek melibatkan akulturasi kebudayaan kuliner dari Tiongkok.


Pempek sendiri adalah adaptasi Palembang dari ngo hiang dan kekkian, yang sama-sama merupakan makanan olahan dari ikan. Namun, alih-alih disajikan dalam sup atau digoreng saja, pempek terkenal akan cuko, yaitu saus dengan rasa manis, asam, dan pedas.

Lumpia



Lumpia adalah makanan ringan terdiri dari lembaran tipis tepung gandum yang dijadikan sebagai pembungkus isian yang umumnya adalah rebung, telur, sayuran segar, daging, atau makanan laut.

Di Indonesia, lumpia dikenal sebagai jajanan khas Semarang dan Ujung Pandang dengan tata cara pembuatan dan bahan-bahan yang telah disesuaikan dengan tradisi setempat.

Lumpia Semarang merupakan salah satu warisan kuliner dari perpaduan antara budaya Tionghoa dan Jawa. Menurut buku Dari Sam poo Kong Ke Lumpia Semarang (2019), lumpia Semarang telah ada sejak abad ke-19.


Sejarah lumpia Semarang berawal ketika seorang lelaki Tionghoa bernama Tjoa Thay Joe datang dan memutuskan untuk tinggal, menetap di Semarang, Jawa Tengah.[1] Di Semarang, ia memutuskan untuk membuka usaha makanan khas Tionghoa, yakni makanan pelengkap berisi daging babi dan rebung. Suatu hari, Tjoa Thay Joe bertemu dengan seorang wanita asli Jawa yakni Wasih. Kebetulan Wasih juga membuka usaha makanan yang mirip dengan milik Tjoa Thay Joe, namun bedanya, usaha makanan Wasih berupa hidangan pelengkap berisi kentang dan udang serta bercita rasa manis.


Menariknya, bukan bersaing mereka malah saling jatuh cinta dan akhirnya memutuskan untuk menikah. Sejak saat itulah keduanya meleburkan usaha makanannya. Kulit renyah dari lumpia kini diubah menjadi udang atau daging ayam yang dipadukan dengan rebung manis.




Bika Ambon

 


Bika Ambon (Jawi: بيكا امبون) adalah kue tradisional khas Medan, Indonesia. Kue ini terbuat dari bahan-bahan seperti tepung tapioka, telur, gula, dan santanBika Ambon dimasak selama 12 jam agar dapat bertahan dalam kondisi terbaik dan sesuai apa yang diinginkan selama empat hari karena setelahnya kue tersebut mulai mengeras. Kue basah ini biasanya memiliki jaring-jaring pada bagian dalam. Bika ambon juga dijual dengan berbagai macam rasa, seperti pandan, coklat, keju, dan lain-lain.


Hingga saat ini, belum studi sosiokultur tunggal tentang asal muasal dari bika ambon.[1] Namun, ada beberapa versi yang berkembang mengenai sejarah kue Bika Ambon. Menurut penjelasan M Muhar Omtatok, seorang budayawan dan sejarawan, kue bika ambon terilhami dari Bika atau Bingka makanan khas Melayu. Selanjutnya, bingka tersebut dimodifikasi dengan bahan pengembang berupa nira/tuak enau hingga berongga dan berbeda dari kue bika asalnya. Selanjutnya, M. Muhar Omtatok menyebutkan bahwa kue ini disebut bika ambon karena pertama kali dijual dan populer di simpang Jl. Ambon-Sei Kera Medan. Versi lain menyebutkan bahwa kata "Ambon" dalam bika ambon adalah akronim dari Amplas Kebon sebagaimana orang medan suka menyingkat kata,Dialek medan. Kisahnya; Pada zaman kolonial Belanda, para imigran yang tinggal di Daerah Amplas sisi timur sungai (Amplas Kebon) membuat kue bikang kemudian dijual ke Kota Medan dan selanjutnya menjadi populer karena diminati oleh warga Belanda dan Tionghoa kala itu. Selain itu, ada juga versi yang menyatakan bahwa (tidak cukup meyakinkan) zaman dahulu ada orang Ambon yang membawa kue bingka ke Malaysia dan selanjutnya menjadi sebutan. Versi terakhir mengaitkan kata "Ambon" adalah kosakata Medan yang berarti "lembut" Namun, istilah ini sudah jarang digunakan.


Pada tanggal 26 Agustus 1933, koran edisi Belanda, De locomotief, memampangkan iklan di Kota Semarang yang menyebutkan bikang ambon. Bikang ambon juga sudah dituliskan oleh koran yang sama pada tahun 1896 di Kwitang, Batavia --sekarang Jakarta-- (De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 10-02-1896). Bika ambon dikenal sebagai oleh-oleh khas Kota Medan, Sumatera Utara. Di Medan, Jalan Mojopahit di daerah Medan Petisah terdapat sedikitnya 30 toko yang menjual kue ini. Setiap toko di lokasi ini bisa menjual lebih dari 1.000 bungkus bika ambon perhari menjelang hari raya.

Ayam Betutu



 Ayam Betutu adalah makanan tradisional khas Bali yang terbuat dari ayam atau bebek utuh yang berisi bumbu, kemudian dipanggang dalam api sekam. Ayam betutu merupakan jenis lauk pauk yang dibuat dari daging ayam yang telah dibersihkan, kemudian dibalurkan bumbu khas Bali yang dikenal dengan "base genep" di seluruh permukaan daging ayam dan sebagian lagi dimasukkan ke dalam rongga abdomennya. Daging ayam yang telah dibumbui kemudian direbus atau langsung dibakar hingga menghasilkan aroma yang khas. Aroma yang muncul disebabkan karena adanya pemanasan yang menyebabkan air dan lemak daging ikut menguap. Makin banyak uap yang dihasilkan, makin kuat dan enak aromanya.


Ayam Betutu merupakan kuliner khas Bali yang berasal dari Gianyar. Sejarah Ayam Betutu pertama bermula pada tahun 1976, dari olahan tangan, Ni Wayan Tempeh atau Men Tempeh yang berasal dari wilayah Abiansi, kota Gianyar. Kemudian, bersama dengan suaminya yang bernama I Nyoman Suratna yang berasal dari Bangli, Ni Wayan Tempeh mendirikan warung Ayam Betutu.


Nama Betutu sendiri berasal dari kata be dan tunu, Be artinya daging, dan tunu artinya bakar. Jadi secara harfiah adalah daging yang dibakar. Kuliner ini secara tradisional pada dasarnya merupakan ayam bakar yang dilabur dengan bumbu khas Bali yang bernama base genep lalu di panggang di api sekam. Namun, seiring kemajuan zaman pembuatan Ayam Betutu juga dilakukan memakai oven atau alat panggang/bakar modern lain. Sebenarnya, Ayam Betutu merupakan hidangan untuk upacara keagamaan dan upacara adat di Bali, seperti otonan, odalan, dan juga acara pernikahan.

Menurut tradisi Bali, ayam betutu biasanya disajikan pada saat upacara adat seperti odalanotonan, maupun pernikahan.

Selain itu, betutu digunakan sebagai sajian pada upacara keagamaan dan upacara adat serta sebagai hidangan dan dijual. Konsumennya tidak hanya masyarakat Bali, tetapi juga tamu mancanegara yang datang ke Bali, khususnya pada tempat-tempat tertentu seperti di hotel dan rumah makan atau restoran.[3] Makanan ini juga sering dijadikan pengunjung sebagai oleh-oleh pertanada mereka pernah berkunjung ke bali. Makanan ini merupakan salah satu favorit para pengunjung yang sering dijadikan oleh-oleh setelah mereka berkunjung ke Bali. Banyak pusat oleh-oleh di Bali yang menyediakan makanan ini karena tingginya minat konsumen terhadap hidangan khas ini.

Serabi


 

Serabi (Sanskerta: wangi, harum) adalah jajanan tradisional yang berasal dari Indonesia yang diperkirakan sudah dikenal sejak zaman Kerajaan Mataram. Panganan ini beberapa kali disebut dalam Serat Centhini, yang ditulis para pujangga keraton Surakarta selama 18141823 atas perintah Pakubuwana V, sebagai sesaji dalam prosesi ijab atau pernikahan, ruwahan, dan terutama kudapan. Pada tembang (pupuh) ke-157 bait 18, diceritakan bahwa serabi merupakan salah satu dari sekian banyak jenis jajanan yang dijajakan di halaman rumah pada saat pertunjukan wayang kulit di malam hari. Disebutkan pula, bahwa sembilan macam serabi juga merupakan bagian dari aneka penganan yang perlu disiapkan sebagai sajen dalam pertunjukan wayang dan ruwatan

Pakar kuliner, Bondan Winarno mengatakan bahwa kemungkinan makanan ini mendapat pengaruh dari budaya kuliner India dan juga Belanda.[4] Di Jawa Barat, serabi dikenal dengan nama surabi atau sorabi. Serabi yang terkenal di Indonesia adalah serabi bandung dan serabi solo.

Rendang

 


Rendang (bahasa MinangkabaurandangJawi: رندڠ) adalah hidangan lauk pauk yang berasal MinangkabauIndonesia dengan bahan dasar daging (ayam, bebek, telur,rusa, sapi, kerbau, dan lainnya) yang melalui proses memasak dengan suhu rendah dalam waktu lama dengan menggunakan aneka rempah-rempah dan santan. Hidangan ini terlahir akibat perilaku sedari lampau suku Minangkabau yang gemar merantau ke sana kemari sehingga butuh banyak perbekalan, terutama hidangan yang awet, tahan lama, dan bercita rasa sesuai lidah asli orang Minang. Awalnya menggunakan daging rusa. Namun, karena rusa mulai sulit didapat, bahan dasarnya beralih menjadi daging sapi atau kerbau.

Proses memasak rendang berlangsung lama, biasanya sekitar empat jam, hingga menyisakan potongan daging dengan tekstur yang empuk serta bumbu kehitaman yang mengering—proses ini dikenal sebagai merendang atau slow cooking. Dalam suhu ruang, rendang dapat bertahan hingga berminggu-minggu. Jika dimasak lebih singkat dan santannya belum mengering, hidangan ini disebut kalio, yang berwarna cokelat terang keemasan. Sementara itu, jika masih berkuah dan belum cukup pekat, tahap ini dikenal sebagai gulai.


Rendang dapat dijumpai di rumah makan Padang di seluruh dunia. Masakan ini populer di Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lainnya, seperti Malaysia, Singapura, Brunei, Filipina, dan Thailand. Di daerah kelahirannya, Minangkabau, rendang disajikan di berbagai upacara adat dan perhelatan istimewa. Meskipun rendang merupakan masakan tradisional Minangkabau, teknik memasak serta pilihan dan penggunaan bumbu rendang berbeda-beda menurut daerah.


Pada 2011, rendang Indonesia pernah dinobatkan sebagai hidangan yang menduduki peringkat pertama daftar World's 50 Most Delicious Foods (50 Hidangan Terlezat Dunia) versi CNN International. Pada 2018, rendang secara resmi ditetapkan sebagai salah satu dari lima hidangan nasional Indonesia.


Rendang dimanfaatkan sebagai bantuan pangan bagi korban bencana alam karena tahan lama dan kandungan gizi yang terjaganya, seperti pada gempa bumi Lombok 2018, gempa bumi dan tsunami Sulawesi 2018, tsunami Selat Sunda 2018, banjir Bengkulu 2019, badai Siklon Seroja 2021, dan gempa bumi Cianjur 2022.

Rujak Cingur

 


Rujak cingur merupakan salah satu makanan tradisional dari Jawa Timur, terutama di daerah Arekan. Menurut pegiat sejarah Kota Surabaya, keberadaan rujak cingur di Kota Surabaya berawal dari tahun 1930-an yang dibawa oleh pendatang dari Pulau Madura untuk bertahan hidup dengan berdagang kuliner yakni rujak cingur.[1] Awalnya pedagang dari Madura menggunakan Petis ikan cakalang khas Madura, tetapi untuk menyesuaikan dengan lidah masyarakat Kota Surabaya yang mayoritas bersuku Jawa maka juga menggunakan petis udang.

Dalam bahasa Jawa , kata cingur berarti 'mulut' atau cengor dalam Bahasa Madura, hal ini merujuk pada bahan irisan hidung atau moncong sapi yang direbus dan dicampurkan ke dalam hidangan. Rujak cingur biasanya terdiri dari irisan beberapa jenis buah seperti timun, kerahi (krai, yaitu sejenis timun khas Jawa Timur atau blungkak dalam Bahasa Madura), bengkuang, mangga muda, nanas, kedondong, kemudian ditambah lontong, tahu, tempe, bendhoyo, cingur, serta sayuran seperti kecambah/taoge, kangkung, dan kacang panjang. Semua bahan tadi dicampur dengan saus atau bumbu yang terbuat dari olahan petis, air matang untuk sedikit mengencerkan, gula/gula merah, cabai, kacang tanah yang digoreng, bawang goreng, garam, dan irisan tipis pisang biji hijau yang masih muda (pisang klutuk).[2] Semua saus/bumbu dicampur dengan cara diulek, kemudian diberi potongan cingur. Jika tanpa cingur maka rujak ini disebut "rujak uleg" atau "rujak" saja.


Dalam penyajiannya, rujak cingur dibedakan menjadi dua macam, yaitu penyajian "biasa" dan matengan "matangan" . Penyajian "biasa" atau umumnya, berupa semua bahan yang telah disebutkan di atas, sedangkan matengan hanya terdiri dari bahan-bahan matang saja: lontong, tahu goreng, tempe goreng, bendhoyo (kerahi yang direbus hingga lunak dan matang) dan sayur (kangkung, kacang panjang, tauge) yang telah direbus atau dikukus. Tanpa ada bahan mentahnya yaitu buah-buahan, karena pada dasarnya ada orang yang tidak menyukai buah-buahan. Keduanya memakai saus atau bumbu yang sama.

Rujak cingur biasa disebut makanan tradisional dari Surabaya, dan kebetulan rujak cingur sudah menjadi turun temurun dari nenek moyang dari tahun 1938, Usianya sekitar 85 tahun sudah rujak cinggur eksis di kota Surabaya.

Mie Aceh



 Mi aceh adalah masakan mi pedas khas Aceh di Indonesia. Mi kuning tebal dengan irisan daging sapidaging kambing atau makanan laut (udang dan cumi) disajikan dalam sup sejenis kari yang gurih dan pedas. Mi aceh biasanya ditaburi dengan bawang goreng dan disajikan bersama emping, potongan bawang merahmentimun, dan jeruk nipis. Mi aceh biasanya disajikan dalam tiga bentuk yaitu mi kuah, mi goreng basah, dan mi goreng kering. Di Aceh, karena ekslusivitas makanan di setiap daerah, mi Aceh hanya merujuk pada mi goreng, sedangkan istilah mi Aceh hanya digunakan di luar provinsi Aceh. Keunikan cita rasa mie Aceh terletak pada racikan bumbu yang kaya akan rempah-rempah, sehingga menghasilkan rasa yang kuat di lidah. Mienya pun cukup unik karena berwarna kuning dan bentuknya tebal pipih. Mie Aceh memiliki beberapa varian, ada yang kering, nyemek, dan basah. Toppingnya pun beragam, ada telur, daging, udang, dan lainnya sesuai selera.

Mi aceh adalah masakan mi pedas khas Aceh di Indonesia. Mi kuning tebal dengan irisan daging sapi, daging kambing atau makanan laut disajikan dalam sup sejenis kari yang gurih dan pedas. Mi aceh biasanya ditaburi dengan bawang goreng dan disajikan bersama emping, potongan bawang merah, mentimun, dan jeruk nipis.

Gudeg

 


Gudeg (bahasa JawaGudhěg) adalah hidangan khas Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah, yang terbuat dari nangka muda (gori) yang dimasak dengan santan.

Pembuatan gudeg memerlukan waktu hingga berjam-jam. Warna cokelat dari gudeg biasanya dihasilkan oleh daun jati yang dimasak secar bersamaan. Biasanya, gudeg dimakan dengan nasi dan disajikan dengan kuah santan kental (areh), ayam kampung, telur, tempe, tahu, dan sambal goreng krecek.

Gudeg merupakan makanan khas di Jawa yang biasanya dihidangkan sebagai masakan rumahan atau hidangan jalanan. Saat ini, gudeg juga diproduksi secara industri sebagai makanan kaleng. Gudeg juga dapat ditemui di luar Indonesia, khususnya di negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura.

Gudeg merupakan makanan khas Yogyakarta dengan berbagai macam pengembangan vasiasi yang melekat di dalamnya. Gudeg juga terdapat di beberapa bagian Jawa lainnya seperti Jawa Tengah, dan Jawa Timur.


Pempek

  Pempek ,  mpek-mpek , atau  empek-empek  adalah  makanan  khas  Palembang ,  Sumatera Selatan . Pempek terbuat dari daging  tenggiri  atau...